Minggu, 02 Januari 2011

TEMA 3 (Teori Sosiologi)

Tonnies memiliki teori yang penting yang akhirnya berhasil membedakan konsep tradisional dan modern dalam suatu organisasi sosial, yaitu Gemeinschaft (yang diartikan sebagai kelompok atau asosiasi) dan Gesellschaft (yang diartikan sebagai masyarakat atau masyarakat modern-istilah Piotr Sztompka). Setelah sebelumnya Weber menegaskan bahwa ia melihat bahwa perubahan masyarakat terlihat pada kecenderungan menuju rasionalisasi kehidupan sosial dan organisasi sosial di segala bidang (pertimbangan instrumental, penekanan efisiensi, menjauhkan diri dari emosi dan tradisi, impersonalitas, manajemen birokrasi dan sebaliknya). Senada dengan hal itu, Durkheim menegaskan bahwa perkembangan pembagian kerja pun akan didikuti integrasi masyarakat melalui “solidaritas organik” yang menimbulkan ikatan yang saling menguntungkan dan kontribusi anggota masyarakat akan saling melengkapi.  Tonnies memasukkan Gemeinschaft dan Gesellschaft di bukunya (1887) satu diantara beberapa nomor yang dipaparkan, sebagai salah satu teori yang bersifat modern. Menurutnya Gemeinschaft adalah sebagai situasi yang berorientasi nilai nilai, aspiratif, memiliki peran, dan terkadang sebagai kebiasaan asal yang mendominasi kekuatan sosial. Jadi baginya secara tidak langsung Gemeinschaft timbul dari dalam individu dan adanya keinginan untu memiliki hubungan atau relasi yang didasarkan atas kesamaan dalam keinginan dan tindakan. Individu dalam hal ini diartikan sebagai pelekat/perekat dan pendukung dari kekuatan sosial yang terhubung dengan teman dan kerabatnya (keluarganya), yang dengannya mereka membangun hubungan emosional dan interaksi satu individu dengan individu yang lain. Status dianggap berdasarkan atas kelahiran, dan batasan mobilisasi juga kesatuan individu yang diketahui terhadap tempatnya di masyarakat. Sedangkan Gesellschaft, sebagai sesuatu yang kontras, menandakan terhadap perubahan yang berkembang, berperilaku rasional dalam suatu individu dalam kesehariannya, hubungan individu yang bersifat superficial (lemah, rendah, dangkal), tidak menyangkut orang tertentu, dan seringkali antar individu tak mengenal, seperti tergambar dalam berkurangnya peran dan bagian dalam tataran nilai, latar belakang, norma, dan sikap, bahkan peran pekerja tidak terakomodasi dengan baik seiring dengan bertambahnya arus urbanisasi dan migrasi juga mobilisasi.

TEMA 2 (Keistimewaan Yogyakarta)

Di wilayah Kotamadya Yogyakarta, terdapat upacara adat yang disebut sebagai Sekaten atau yang lebih dikenal dengan istilah Pasar Malam Perayaan Sekaten karena sebelum upacara Sekaten diadakan kegiatan pasar malam terlebih dahulu selama satu bulan penuh. Tradisi yang ada sejak zaman Kerajaan Demak (abad ke-16) ini diadakan setahun sekali pada bulan Maulud, bulan ke tiga dalam tahun Jawa, dengan mengambil lokasi di pelataran atau Alun-alun Utara Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Asal usul istilah Sekaten berkembang dalam beberapa versi. Ada yang berpendapat bahwa Sekaten berasal dari kata Sekati, yaitu nama dari dua perangkat pusaka Kraton berupa gamelan yang disebut Kanjeng Kyai Sekati yang ditabuh dalam rangkaian acara peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW. Pendapat lain mengatakan bahwa Sekaten berasal dari kata suka dan ati (suka hati, senang hati) karena orang-orang menyambut hari Maulud tersebut dengan perasaan syukur dan bahagia dalam perayaan pasar malam di Alun-alun Utara.
Pendapat lain mengatakan bahwa kata Sekaten berasal dari kata syahadataini, dua kalimat dalam Syahadat Islam, yaitu syahadat taukhid (Asyhadu alla ila-ha-ilallah) yang berarti "saya bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah" dan syahadat rasul (Waasyhadu anna Muhammadarrosululloh) yang berarti "saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad utusan Allah".
Upacara Sekaten dianggap sebagai perpaduan antara kegiatan dakwah Islam dan seni. Pada awal mula penyebaran agama Islam di Jawa, salah seorang Wali Songo, yaitu Sunan Kalijaga, mempergunakan kesenian karawitan (gamelan Jawa) untuk memikat masyarakat luas agar datang untuk menikmati pergelaran karawitan-nya dengan menggunakan dua perangkat gamelan Kanjeng Kyai Sekati. Di sela-sela pergelaran, dilakukan khotbah dan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Bagi mereka yang bertekad untuk memeluk agama Islam, diwajibkan mengucapkan kalimat Syahadat, sebagai pernyataan taat kepada ajaran agama Islam.
Di kalangan masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya, muncul keyakinan bahwa dengan ikut merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang bersangkutan akan mendapat pahala dari Yang Maha Agung, dan dianugerahi awet muda. Sebagai syarat, mereka harus menguyah sirih di halaman Masjid Agung Yogyakarta, terutama pada hari pertama dimulainya perayaan Sekaten. Oleh karena itu, selama perayaan, banyak orang berjualan sirih dengan ramuannya, nasi gurih beserta lauk-pauknya di halaman Kemandungan, di Alun-alun Utara atau di depan Masjid Agung Yogyakarta. Bagi para petani, dalam kesempatan ini memohon pula agar panenannya yang akan datang berhasil. Untuk memperkuat tekadnya ini, mereka membeli cambuk untuk dibawa pulang.
Sebelum upacara Sekaten dilaksanakan, diadakan dua macam persiapan, yaitu persiapan fisik dan spiritual. Persiapan fisik berupa peralatan dan perlengkapan upacara Sekaten, yaitu Gamelan Sekaten, Gendhing Sekaten, sejumlah uang logam, sejumlah bunga kanthil, busana seragam Sekaten, samir untuk niyaga, dan perlengkapan lainnya, serta naskah riwayat maulud Nabi Muhammad SAW.
Gamelan Sekaten adalah benda pusaka Kraton yang disebut Kanjeng Kyai Sekati dalam dua rancak, yaitu Kanjeng Kyai Nogowilogo dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Gamelan Sekaten tersebut dibuat oleh Sunan Giri yang ahli dalam kesenian karawitan dan disebut-sebut sebagai gamelan dengan laras pelog yang pertama kali dibuat. Alat pemukulnya dibuat dari tanduk lembu atau tanduk kerbau dan untuk dapat menghasilkan bunyi pukulan yang nyaring dan bening, alat pemukul harus diangkat setinggi dahi sebelum dipuk pada masing-masing gamelan.
Sedangkan Gendhing Sekaten adalah serangkaian lagu gendhing yang digunakan, yaitu Rambu pathet lima, Rangkung pathet lima, Lunggadhung pelog pathet lima, Atur-atur pathet nem, Andong-andong pathet lima, Rendheng pathet lima, Jaumi pathet lima, Gliyung pathet nem, Salatun pathet nem, Dhindhang Sabinah pathet em, Muru putih, Orang-aring pathet nem, Ngajatun pathet nem, Batem Tur pathet nem, Supiatun pathet barang, dan Srundeng gosong pelog pathet barang.

TEMA 1(Transportasi)

Sistem transportasi di Yogyakarta saat ini jauh dari bentuk transportasi yang bersifat manusiawi. Bahkan desain yang diciptakan semakin mengikis unsur-unsur manusiawi dimana desain-desain yang digunakan lebih mementingkan pengguna sepeda motor sebagai referensinya, bukan kepada pejalan kaki.
“Banyak kebijakan yang semakin mengurangi fasilitas pejalan kaki seperti pada jalan yang semakin menyempit sehingga pejalan kaki terganggu dengan adanya pengemudi kendaraan yang berpindah jalur,” kata Kepala Pusat Studi Transportasi dan Logistik (PUSTRAL) UGM Dr. Heru Sutomo pada Diskusi Publik “Menggagas Transportasi Yang Manusiawi di Yogyakarta”, Jumat (20/2) di University Center UGM.

Dalam kesempatan tersebut, Diskusi Publik yang digagas oleh Masyarakat Tranportasi Indonesia (MTI-DIY) dan PUSTRAL UGM menghadirkan juga Antropologi UGM Drs. Bambang Hudayana, MA., dan mantan Kepala Dinas DLLAJR Provinsi DIY Drs. Moenadji.

Menurut Heru Sutomo, permasalahan transportasi merupakan momok bagi banyak kota dalam meningkatkan dayatarik dan citra kotanya. Kemacetan, kecelakaan dan polusi merupakan bagian dari aspek negatif transportasi yang berpotensi merongrong perekonomian kota, termasuk dalam hal ini juga terjadi di Yogyakarta.
“Stagnasi sektor pariwisata dan pendidikan di Jogja merupakan gejala lambatnya penanganan transportasi dari kecepatan gelombang masalahnya. Karena penanganan berbau teknikal saja sering kali kurang membawa hasil,” tukasnya.

Ia menambahkan, menggagas transporatsi yang manusiwai di Yogyakarta bisa dilakukan dengan cara mencoba mengeksplorasi nilai-nilai hakiki dan nilai-nilai tradisional dalam transportasi dari sisi budaya, menggali local knowledge (pengetahuan lokal) dan local wisdom (kearifan local), local material dan teknologi yang mungkin berpotensi dalam memberi masukan ke depan dalam pengembangan transportasi di Yogyakarta.
“Pendekatan budaya menjadi alternatif atau komplemen dari pendekatan modern, tidak jarang justru menjadi penguat yang jitu,” tandasnya.

Pendapat senada juga disampaikan oleh Drs. Moenadji, menurutnya menggagas sistem tranportasi yang lebih manusiawi lebih diprioritaskan kepada pejalan kaki karena pejalan kakai merupakan salah satu bagian dari pengguna jalan yang kedudukannya paling lemah. sehingga perlu mendapatkan perhatian dan perlakuan yang manusiawi. Untuk mengatasi permasalahan yang saat ini terjadi di Yogyakarta, lanjutnya, perlu adanya peningkatan kuantitas dan kualitas fasilitas pejalan kaki di semua tempat atau lingkungan publik. Selain itu, perlunya penanaman kesadaran bagi pengendara kendaraan bermotor untuk menghormati pejalan kaki.
“Sepeda motor bukan sarana transportasi yang manusiawi. Dari segi kenyamanan dan keselamatan pengendara bermotor kurang begitu terjamin, selain itu juga menimbulkan polusi udara,” imbuhnya.

Sementara itu Antropolog UGM Drs. Bambang Hudayana, MA menuturkan bahwa tingginya angka kecelakaan tidak hanya dikaitkan dengan rendahnya tingkat responsibilitas pemerintah, politisi, masyarakat maupun swasta, akan tetapi juga berkaitan dengan sistem budaya yang rapuh dalam membentuk perilaku semua aktor tersebut di dalam mengembangkan manajemen transportasi dan perilaku berlalulintas.