Apakah Transportasi Publik di Indonesia sudah Responsif Gender?
Fri, 07/25/2008 - 11:01 — Sofia Kartika
Kenaikan harga BBM hampir terjadi di seluruh dunia, mungkin memang benar ini krisis global, tidak hanya di Indonesia. Harga BBM yang naik memang sedikit menggeser perilaku, menurut teman saya yang tinggal di Singapore sejak harga BBM naik, MRT kok rasanya makin sesak, jumlah mobil ya lumayan berkurang jika di hari kerja. Di Jakarta atau kota-kota besar bagaimana ya?
Tapi dalam tulisan saya ini, saya tidak akan berbicara soal harga BBM itu, melaikan soal kenapa di Singapore dan juga negara lainnya, orang suka naik MRT, ketimbang di Indonesia yang kayaknya usahanya gak kurang-kurang (transjakarta, transjogja, monorel, katanya) tapi korupsinya juga gak kurang-kurang ya?:p. Jadi apa yang membuat transportasi publik di Indonesia gak nyaman?, saya akan menuliskannya dalam perspektif gender dan pengalaman saya sebagai perempuan.
Saya ingat betul inspirasi yang menjadi tulisan saya di salah satu edisi Jurnal Perempuan adalah tentang bagaimana membahasakan pengarusutamaan gender yang berasa ‘di awang-awang’ itu, dengan transportasi publik itu. Pertama kereta, kereta ekonomi-bisnis yang pernah saya tumpangi Tanah Abang-Rangkasbitung, itu pengap dan tidak terawat, kedua yang ini perlu diperhatikan departemen terkait (Perhubungan-Pekerjaan Umum) adalah jarak antara pijakan pintu kereta api dengan pijakan semen di stasiun kereta api, mungkin di stasiun Gambir jaraknya tidak ada alias sudah sejajar, tapi di stasiun kereta api di daerah, seperti Rangkasbitung misalnya, seperti asal buat saja. Pengguna kereta api mesti membungkuk dan lompat karena jarak antara keduanya terlalu tinggi, kalau mekad lompat ya, perut terguncang, padahal para pengguna kereta api tidak hanya membawa tas kecil, bahkan membawa berkarung barang, belum lagi kalo kereta berada di rel yang jauh dari peron, mesti naik turun, duh...itu masih satu daerah, belum daerah lain.
Kalau melihat proyek TransJakarta pun begitu,jarak antara bis dan halte nya sangat jauh, apakah ini karena secara hitungan infrastruktur ada yang dikurangi atau ketrampilan sopir yang kurang memperhatikan keamanan dan kenyamanan pengguna (meskipun selalu ada yang teriak-teriak untuk hati-hati, kalo gak males petugasnya:p)
Selain persoalan infrastruktur transportasi publik, yang seakan-akan dirancang asal ada tanpa memperhitungkan jumlah konsumen- ini terkait dengan sistem transportasinya juga. Pernah merasakan menunggu lebih dari 10 menit untuk Transjakarta? Dengan alasan sedang isi ulang BBG? Atau telat jadwal kereta api tanpa pemberitahuan yang jelas? Penerbangan yang hobi delay?, pastinya sering ya. Kapasitas infrastruktur yang
timpang dengan konsumen.
timpang dengan konsumen.
Sementara di sisi lain juga kebiasaan tidak menjaga fasilitas umum, pintu kereta yang dipaksakan berjubel,ini juga terkait dengan sistem penjadwalan yang tidak pasti kapan berangkat. Jadi responsif gender tidak perlu selalu bilang pemberdayaan
perempuan kan? Untuk mengintegrasikannya dalam kebijakan. Infrastruktur yang dalam pembangunannya, satu sentimeter pun jangan dikurangi, bahkan milimeter, karena akan terkait masalah ergonomis,ingat konsumen bukan hanya kelompok laki-laki, ada perempuan, anak-anak, bahkan lansia. Sistem transportasi, penjadwalan, insentif dan hal lainnya penting untuk membuatnya responsif terhadap konsumen.
perempuan kan? Untuk mengintegrasikannya dalam kebijakan. Infrastruktur yang dalam pembangunannya, satu sentimeter pun jangan dikurangi, bahkan milimeter, karena akan terkait masalah ergonomis,ingat konsumen bukan hanya kelompok laki-laki, ada perempuan, anak-anak, bahkan lansia. Sistem transportasi, penjadwalan, insentif dan hal lainnya penting untuk membuatnya responsif terhadap konsumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar